Jumat, 06 November 2009

UNDANG UNDANG NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1992
TENTANG
P E R K O P E R A S I A N
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Meninmbang : a. bahwa Koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi;

b. bahwa Koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip Koperasi sehingga mampu berperan sebagai sokoguru perekonomian nasional;
c. bahwa pembangunan Koperasi merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan seluruh rakyat;

d. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut dan menyelaraskan dengan perkembangan keadaan, perlu mengatur kembali ketentuan tentang perkoperasian dalam suatu Undang-undang sebagai pengganti Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian.

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKOPERASIAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan Koperasi.
3. Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang.
4. Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi.
5. Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi dan kegiatan perkoperasian yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama Koperasi.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Bagian Pertama
Landasan dan Asas
Pasal 2
Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
BAB III
FUNGSI, PERAN, DAN PRINSIP KOPERASI
Bagian Pertama
Fungsi dan Peran
Pasal 4
Fungsi dan peran Koperasi adalah :
a. membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;
b. berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat;
c. memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan Koperasi sebagai sokogurunya;
d. berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Bagian Kedua
Prinsip Koperasi
Pasal 5
(1) Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi sebagai berikut :
a. keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;
b. pengelolaan dilakukan secara demokratis;
c. pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;
d. pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
e. kemandirian
(2) Dalam mengembangkan Koperasi, maka koperasi melaksanakan pula prinsip Koperasi sebagai berikut :
a. pendidikan perkoperasian;
b. kerja sama antarkoperasi.
BAB IV.
PEMBENTUKAN
Bagian Pertama
Syarat Pembentukan
Pasal 6
(1) Koperasi Primer dibentuk sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang.

(2) Koperasi Sekunder dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) Koperasi.
Pasal 7
(1)
Pembentukan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan dengan akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar.

(2) Koperasi mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 8
Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) memuat sekurang-kurangnya :
a. daftar nama pendiri;
b. nama dan tempat kedudukan;
c. maksud dan tujuan serta bidang usaha;
d. ketentuan mengenai keanggotaan;
e. ketentuan mengenai Rapat Anggota;
f. ketentuan mengenai pengelolaan;
g. ketentuan mengenai permodalan;
h. ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya;
i. ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha;
j. ketentuan mengenai sanksi.
Bagian Kedua
Status Badan Hukum
Pasal 9
Koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah.
Pasal 10
(1) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, para pendiri mengajukan permintaan tertulis disertai akta pendirian Koperasi.
(2) Pengesahan akta pendirian diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan pengesahan.
(3) Pengesahan akta pendirian diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 11
(1) Dalam hal permintaan pengesahan akta pendirian ditolak, alasan penolakan diberitahukan kepada para pendiri secara tertulis dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan.
(2) Terhadap penolakan pengesahan akta pendirian para pendiri dapat mengajukan permintaan ulang dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya penolakan.
(3) Keputusan terhadap pengajuan permintaan ulang diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya pengajuan permintaan ulang.
Pasal 12
(1) Perubahan Anggaran Dasar dilakukan oleh Rapat Anggota.
(2) Terhadap perubahan Anggaran Dasar yang menyangkut penggabungan, pembagian, dan perubahan bidang usaha Koperasi dimintakan pengesahan kepada Pemerintah.
Pasal 13
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengesahan atau penolakan pengesahan akta pendirian, dan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Untuk keperluan pengembangan dan/atau efisiensi usaha, satu Koperasi atau lebih dapat :
a. menggabungkan diri menjadi satu dengan Koperasi lain, atau
b. bersama Koperasi lain meleburkan diri dengan membentuk Koperasi baru.
(2) Penggabungan atau peleburan dilakukan dengan membentuk Koperasi baru.
Bagian Ketiga
Bentuk dan Jenis
Pasal 15
Koperasi dapat berbentuk Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder.
Pasal 16
Jenis Koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya.
BAB V.
KEANGGOTAAN
Pasal 17
(1) Anggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi.
(2) Keanggotaan Koperasi dicatat dalam buku daftar angota.
Pasal 18
(1) Yang dapat menjadi anggota Koperasi ialah setiap warga negara Indonesia yang mampu melakukan tindakan hukum atau Koperasi yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
(2) Koperasi dapat memiliki anggota luar biasa yang persyaratan, hak, dan kewajiban keanggotaannya ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 19
(1) Keanggotaan Koperasi didasarkan pada kesamaan kepentingan ekonomi dalam lingkup usaha Koperasi.
(2) Keanggotaan Koperasi dapat diperoleh atau diakhiri setelah syarat sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dipenuhi.
(3) Keanggotaan Koperasi tidak dapat dipindahtangankan.
(4) Setiap anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap Koperasi sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 20
(1) Setiap anggota mempunyai kewajiban :
a. mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota;
b. berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh Koperasi;
c. mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Setiap anggota mempunyai hak :
a. menghadiri, menyatakan pendapat, dan memberikan suara dalam Rapat Anggota;
b. memilih dan/atau dipilih menjadi anggota Pengurus atau Pengawas;
c. meminta diadakan Rapat Anggota menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar;
d. mengemukakan pendapat atau saran kepada Pengurus di luar Rapat Anggota baik diminta maupun tidak diminta;
e. memanfaatkan Koperasi dan mendapat pelayanan yang sama antara sesama anggota;
f. mendapatkan keterangan mengenai perkembangan Koperasi menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar.
BAB VI.
PERANGKAT ORGANISASI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 21
Perangkat Organisasi Koperasi terdiri dari :
a. Rapat Anggota;
b. Pengurus;
c. Pengawas.
Bagian Kedua
Rapat Anggota
Pasal 22
(1) Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
(2) Rapat Anggota dihadiri oleh anggota yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar.
Pasal 23
Rapat Anggota menetapkan :
a. Anggaran Dasar;
b. kebijaksanaan umum di bidang organisasi, manajemen, dan usaha Koperasi;
c. pemilihan, pengangkatan, pemberhentian Pengurus dan Pengawas;
d. rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi, serta pengesahan laporan keuangan;
e. pengesahan pertanggungjawaban Pengurus dalam pelaksanaan tugasnya;
f. pembagian sisa hasil usaha;
g. penggabungan, peleburan, pembagian, dan pembubaran Koperasi.

Pasal 24
(1) Keputusan Rapat Anggota diambil berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Apabila tidak diperoleh keputusan dengan cara musyawarah, maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(3) Dalam hal dilakukan pemungutan suara, setiap anggota mempunyai hak satu suara.
(4) Hak suara dalam Koperasi Sekunder dapat diatur dalam Anggaran Dasar dengan mempertimbangkan jumlah anggota dan jasa usaha Koperasi-anggota secara berimbang.
Pasal 25
Rapat Anggota berhak meminta keterangan dan pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas mengenai pengelolaan Koperasi.
Pasal 26
(1) Rapat Anggota dilakukan paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Rapat Anggota untuk mengesahkan pertanggungjawaban Pengurus diselenggarakan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku lampau.
Pasal 27
(1) Selain Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Koperasi dapat melakukan Rapat Anggota Luar Biasa apabila keadaan mengharuskan adanya keputusan segera yang wewenangnya ada pada Rapat Anggota.
(2) Rapat Anggota Luar Biasa dapat diadakan atas permintaan sejumlah anggota Koperasi dan atau keputusan Pengurus yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar.
(3) Rapat Anggota Luar Biasa mempunyai wewenang yang sama dengan wewenang Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Pasal 28
Persyaratan, tata cara, dan tempat penyelenggaraan Rapat Anggota dan Rapat Anggota Luar Biasa diatur dalam Anggaran Dasar.
Bagian Ketiga
Pengurus
Pasal 29
(1) Pengurus dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat ANggota.
(2) Pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota.
(3) Untuk pertama kali, susunan dan nama anggota Pengurus dicantumkan dalam akta pendirian.
(4) Masa jabatan Pengurus paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat menjadi anggota Pengurus ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 30
(1) Pengurus bertugas :
a. Mengelola Koperasi dan usahanya;
b. Mengajukan rencana-rencana kerja serta rancangan rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi;
c. Menyelenggarakan Rapat Anggota;
d. Mengajukan laboran keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas;
e. Menyelenggarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara tertib;
f. Memelihara daftar buku anggota dan pengurus.
(2) Pengurus berwenang :
a. mewakili Koperasi di dalam dan di luar pengadilan;
b. memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar;
c. melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan Rapat Anggota.
Pasal 31
Pengurus bertanggung jawab mengenai segala kegiatan pengelolaan Koperasi dan usahanya kepada Rapat Anggota atau Rapat Anggota Luar Biasa.
Pasal 32
(1) Pengurus Koperasi dapat mengangkat Pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola usaha.
(2) Dalam hal Pengurus Koperasi bermaksud untuk mengangkat pemgelola, maka rencana pengangkatan tersebut diajukan kepada Rapat Anggota untuk mendapat pesetujuan.
(3) Pengelola bertanggung jawab kepada Pengurus.
(4) Pengelolaan usaha oleh Pengelola tidak mengurangi tanggung jawab Pengurus sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31.
Pasal 33
Hubungan antara Pengelola usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dengan Pengurus Koperasi merupakan hubungan kerja atas dasar perikatan.
Pasal 34
(1) Pengurus, baik bersama-sama, maupun sendiri-sendiri, menanggung kerugian yang diderita Koperasi, kaena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya.
(2) Disamping peggantian kerugian tersebut, apabila tindakan itu dilakukan dengan kesengajaan, tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntuntutan.
Pasal 35
Setelah tahun buku Koperasi ditutup, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakan rapat anggota tahunan, Pengurus menyusun laporan tahunan yang memuat sekurang-kurangnya
a. perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan hasil usaha dari tahun yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut;
b. keadaan dan usaha Koperasi serta hasil usaha yang dapat dicapai.
Pasal 36
(1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ditandatangani oleh semua anggota Pengurus.
(2) Apabila salah seorang anggota Pengurus tidak menandatangani laporan tahunan tersebut, anggota yang bersangkutan menjelaskan secara tertulis.
Pasal 37
Persetujuan terhadap laporan tahunan, termasuk pengesahan perhitungan tahunan, merupakan penerimaan pertanggungjawaban Pengurus oleh Rapat Anggota.
Bagian Keempat
Pengawas
Pasal 38
(1) Pengawas dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota.
(2) Pengawas bertanggung jawab kepada Rapat Anggota.
(3) Persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat sebagai anggota Pengawas ditetapkan dalam Anggaran Dasar.
Pasal 39
(1) Pengawas bertugas :
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan Koperasi;
b. membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya.
(2) Pengawasan berwenang :
a. meneliti catatan yang ada pada Koperasi;
b. mendapatkan segala keterangan yang diperlukan.
(3) Pengawas harus merahasiakan hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga.
Pasal 40
Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan publik.
BAB VII.
MODAL
Pasal 41
(1) Modal Koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman.
(2) Modal sendiri dapat berasal dari :
a. simpanan pokok;
b. simpanan wajib;
c. dana cadangan;
d. hibah.
(3) Modal pinjaman dapat berasal dari :
a. anggota;
b. Koperasi lainnya dan/atau anggotanya;
c. bank dan lembaga;
d. penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;
e. sumber lain yang sah.
Pasal 42
1) Selain modal sebagaimana dimaksud Pasal 41, Koperasi dapat pula melakukan pemupukan modal yang berasal dari modal penyertaan.
2) Ketentuan mengenai pemupukan modal yang berasal dari modal penyertaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII.
LAPANGAN USAHA
Pasal 43
(1) Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.
(2) Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi.
(3) Koperasi menjalankan kegiatan usa dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.
Pasal 44
(1) Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk :
a. anggota Koperasi yang bersangkutan;
b. Koperasi lain dan/atau anggotanya.
(2) Kegiatan usaha simpan pinjam dapat dilaksanakan sebagai salah satu atau satu-satunya kegiatan usaha Koperasi.
(3) Pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam oleh Koperasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX.
SISA HASIL USAHA
Pasal 45
(1) Sisa Hasil Usaha Koperasi merupakan pendapatan Koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
(2) Sisa Hasil Usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan Koperasi, serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan lain dari Koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota.
(3) Besarnya pemupukan dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota.
BAB X.
PEMBUBARAN KOPERASI
Bagian Pertama
Cara Pembubaran Koperasi
Pasal 46
Pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan :
a Keputusan Rapat Anggota, atau
b Keputusan Pemerintah.
Pasal 47
(1) Keputusan pembubaran oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dilakukan apabila :
a. terdapat bukti bahwa Koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan Undang-undang ini;
b. kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;
c. kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan.
(2) Keputusan pembubaran Koperasi oleh Pemerintah dikeluarkan dalam waktu paling lambat 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan rencana pembubaran tersebut oleh Koperasi yang bersangkutan.
(3) Dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal penerimaan pemberitahuan, Koperasi yang bersangkutan berhak mengajukan keberatan.
(4) Keputusan Pemerintah mengenai diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana pembubaran diberikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya pernyataan keberatan tersebut.
Pasal 48
Ketentuan mengenai pembubaran Koperasi oleh Pemerintah dan tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
(1) Keputusan pembubaran Koperasi oleh Rapat Anggota diberitahukan secara tertulis oleh Kuasa Rapat Anggota kepada;
a. semua kreditor;
b. Pemerintah.
(2) Pemberitahuan kepada semua kreditor dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal pembubaran tersebut berlangsung berdasarkan keputusan Pemerintah.
(3) Selama pemberitahuan pembubaran Koperasi belum berlaku baginya.
Pasal 50
Dalam pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 disebutkan :
a Nama dan alamat Penyelesai, dan
b Ketentuan bahwa semua kreditor dapat mengajukan tagihan dalam jangka waktu (3) tiga bulan sesudah tanggal diterimanya surat pemberitahuan pembubaran.
Bagian Kedua
Penyelesaian
Pasal 52
(1) Penyelesaian dilakukan oleh penyelesaian pembubaran yang selanjutnya disebut Penyelesai.
(2) Untuk penyelesaian berdasarkan keputusan Rapat Anggota, Penyelesai ditunjuk oleh Rapat Anggota.
(3) Untuk penyelesaian berdasarkan keputusan Pemerintah, Penyelesai ditunjuk oleh Pemerintah.
(4) Selama dalam proses penyelesaian, Koperasi tersebut tetap ada dengan sebutan ”Koperasi dalam penyelesaian”.
Pasal 53
(1) Penyelesaian segera dilaksanakan setelah dikeluarkan keputusan pembubaran Koperasi.
(2) Penyelesai bertanggung jawab kepada Kuasa Rapat Anggota dalam hal Penyelesai ditunjuk oleh Rapat Anggota dan kepada Pemerintah dalam hal Penyelesai ditunjuk oleh Pemerintah.


Pasal 54
Penyelesai mempunyai hak, wewenang, dan kewajiban sebagai berikut :
a. Melakukan segala perbuatan hukum untuk dan atas nama ”Koperasi dalam penyelesaian”.
b. Mengumpulkan segala keterangan yang diperlukan;
c. Memanggil pengurus, anggota dan bekas anggota tertentu yang diperlukan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;
d. Memperoleh, memeriksa, dan menggunakan segala catatan dan arsip Koperasi;
e. Menetapkan dan melaksanakan segala kewajiban pembayaran yang didahulukan dari pembayaran hutang lainnya;
f. Menggunakan sisa kekayaan Koperasi untuk menyelesaikan sisa kewajiban Koperasi;
g. Membagikan sisa hasil penyelesaian kepada anggota;
h. Membuat berita acara penyelesaian.
Pasal 55
Dalam hal terjadi pembubaran Koperasi, anggota hanya menanggung kerugian sebatas simpanan pokok, simpanan wajib dan modal penyertaan yang dimilikinya.
Bagian Ketiga
Hapusnya Status Badan Hukum
Pasal 56
(1) Pemerintah mengumumkan pembubaran Koperasi dalam Berita Negara Republik Indonesia.
(2) Status badan hukum Koperasi hapus sejak tanggal pengumuman pembubaran Koperasi tersebut dalam Berita Negara Republik Indonesia.
BAB XI.
LEMBAGA GERAKAN KOPERASI
Pasal 57
(1) Koperasi secara bersama-sama mendirikan satu organisasi tunggal yang berfungsi sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai pembawa aspirasi Koperasi.
(2) Organisasi ini berasaskan Pancasila.
(3) Nama, tujuan, susunan, dan tata kerja organisasi diatur dalam Anggaran Dasar organisasi yang bersangkutan.
Pasal 58
(1) Organisasi tersebut melakukan kegiatan :
a. memperjuangkan dan menyalurkan aspirasi Koperasi;
b. meningkatkan kesadaran berkoperasi di kalangan masyarakat;
c. melakukan pendidikan perkopersian bagi anggota dan masyarakat;
d. mengembangkan kerjasama antar koperasi dan antara Koperasi dengan badan usaha lain, baik pada tingkat nasional maupun internasional.
(2) Untuk melaksanakan kegiatan tersebut, Koperasi secara bersama-sama menghimpun dana Koperasi.
Pasal 59
Organisasi yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) disahkan oleh Pemerintah.
BAB XII.
PEMBINAAN
Pasal 60
(1) Pemerintah menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan Koperasi.
(2) Pemerintah memberikan bimbingan, kemudahan, dan perlindungan kepada Koperasi.
Pasal 61
Dalam upaya mendorong dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi, Pemerintah :
a. Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi;
b. Meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadi Koperasi yang sehat, tangguh, dan mandiri;
c. Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya;
d. Membudayakan Koperasi dalam masyarakat.

Pasal 62
Dalam rangka memberikan bimbingan dan kemudahan kepada Koperasi, Pemerintah :
a. Membimbing usaha Koperasi yang sesuai dengan kepentingan ekonomi anggotanya.;
b. Mendorong, mengembangkan, dan membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan penelitian perkoperasian;
c. Memberikan kemudahan untuk memperkokoh permodalan Koperasi serta mengembangkan lembaga keuangan Koperasi;
d. Membantu pengembangan jaringan usaha Koperasi dan kerja sama yang saling menguntungkan antar Koperasi;
e. Memberikan bantuan konsultasi guna memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh Koperasi dengan tetap memperhatikan Anggaran Dasar dan prinsip Koperasi.
Pasal 63
(1) Dalam rangka pemberian perlindungan kepada Koperasi, Pemerintah dapat :
a. menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan Koperasi
b. menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan oleh koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya.
(2) Persyaratan dan tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 64
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63 dilakukan dengan memperhatikan keadaan dan kepentingan ekonomi nasional, serta pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.
BAB XIII.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Koperasi yang telah memiliki status badan hukum pada saat Undang-Undang ini berlaku, dinyatakan telah memperoleh status badan hukum berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XIV.
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 12 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 2832) dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara 1967 Nomor 2832) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 67
Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Oktober 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Oktober 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
M O E R D I O N O
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 116.
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIS KABINET RI
Kepala Biro Hukum
Dan Perundang-undangan
Bambang Kesowo, SH, LL.M.

Kerja Sama Primkopad Dim 0614 Cirebon dengan TVS

Telah dimulai kerja sama antara pihak koperasi Kodim 0614 Kota Cirebon dengan TVS dalam hal pengambilan unit motor yang dikeluarkan oleh dealer TVS,Selama ini sebelum TVS masuk sebelumnya juga sudah banyak Dealer dealer selain TVS seperti Honda, Yamaha, Bajaj telah melakukan kerjasama dalam pengambilan unit motor. Sampai saat ini kerjasama antara pihak TVS dan koperasi masih dalam taraf pendataan anggota yang akan mengambil serta melakukan koordinasi dengan pihak Bank, yang rencananya pihak Koperasi akan mengusahakan bekerjasama dengan Bank yang memberikan suku bunga paling sedikit. Diantara Bank yang sudah di koordinasikan adalah Bank Syariah Mandiri dan Bank BTN syariah. semoga kedepan kerjasama ini dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Analisis Laporan Keuangan

Bank Soal Analisis Laporan Keuangan

1. Pengertian atau definisi Laporan Keuangan, antara satu ahli dengan ahli yang lain tidak persis sama. Sebutkan dan jelaskan salah satu yang Saudara ketahui !
2. Didalam PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 27, yang dikeluarkan oleh Ikatatan Akuntan Indonesia (IAI), Laporan Keuangan Koperasi dibagi menjadi Laporan Keuangan Kelompok Utama dan Laporan Keuangan Kelompok Tambahan. Sebutkan Laporan Keuangan Koperasi kelompok Utama dan sebutkan laporan keuangan yang mana yang tidak ada pada Koperasi Angkatan Darat?
3. Laporan Keuangan ada;lah proses akhir dari kegiatan Akuntansi, untuk kepentingan siapa Laporan Keuangan itu dibuat?
4. Sebutkan dan Jelaskan apa yang dimaksud dengan Analisis Laporan Keuangan!
5. Didalam Akuntansi ada dua jenis Perkiraan yaitu perkiraan Riil (perkiraan yang berkode/golongan 1, 2 dan 3) dan Perkiraaan Nominal (pendapatan dan biaya). Perkiraan riil atau perkiraan yang berkode/golongan nomor 1,2 dan 3, masuk ke laporan keuangan yang mana ?. dan perkiraan Nominal atau perkiraan (pendapatan dan biaya) masuk ke laporan keuangan yang mana ?
6. Antara Laporan keuangan dengan Analisis Laporan Keuangan pada prosesnya ada perbedaan. Jelaskan perbedaan tersebut!
7. Dalam menganalisis laporan keuangan terdapat beberapa tujuan. Sebutkan 3 (tiga) tujuan analisis laporan keuangan!
8. Empat kemungkinan yang dapat dialami suatu koperasi. Sebutkan dan jelaskan empat kemungkinan tersebut!
9. Dibawah tertera data Neraca selama 5 tahun (1993-1997) suatu Koperasi, berdasarkan neraca tersebut, saudara diminta untuk menganalisis Rasio Lancar (Current Ratio)!
10. Berdasarkan hasil perhitungan rasio selama 5 tahun tersebut pada soal nomor 9, saudara diminta untuk menginterprestasikannya!

Persepsi Pengusaha Rotan Terhadap Terbitnya SKB 4 Menteri Di Cirebon

BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sejarah perburuhan di Indonesia boleh dikatakan tidak pernah menggembirakan dimana nasib para pekerja selalu tragis dan menyedihkan hal ini bukan saja karena tenaga dan pikiran mereka yang harus dicurahkan untuk membantu tuan atau majikanya ( pengusaha ) melainkan nasib mereka juga dipertaruhkan, pada awal kemerdekaan sistem upah di Indonesia berfungsi tidak hanya sebagai bagian dari mekanisme pasar untuk alokasi yang efisien dari sumber sumber tetapi juga memiliki fungsi kebijakan sosial yaitu untuk melindungi yang lemah dengan mengaitkan upah sedemikian rupa dengan kebutuhan. Jika kita menyimak kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sampai saat ini terlihat betapa komplek dan rumitnya persoalan yang ada di dalamnya dan hal itu terus bermunculan tak ada kunjung penyelesaian sehingga mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran, sedikitnya ketersediaan lapangan kerja, sumber daya manusia yang berkualitas rendah, masalah upah, masalah kesejahteraan buruh, tunjangan sosial dan PHK semakin menjadi persoalan yang semakin kusut.
Berkaitan dengan upah minimum di Propinsi Jawa Barat tahun 2006 keputusan Gubernur telah menuai pro dan kontra dari kaum pekerja yang menilai bahwa upah minimum propinsi ( UMP ) itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diakibatkan karena harga harga yang meningkat pasca kenaikan harga bahan bakar minyak yang membuat biaya hidup semakin mahal, bagi pengusaha sebagai pemberi upah juga punya persoalan yang sama yaitu merasa cemas melihat kenaikan biaya produksi yang dapat membuat prospek usaha mereka menjadi memburuk padahal sebenarnya upah minimum yang ditetapkan Gubernur di atas sangat jauh dari tuntutan para buruh yang mereka ajukan melalui Serikat pekerja dimana kenaikan upah rata rata yang mereka minta diharapkan sama dengan hasil dari survey kebutuhan hidup layak ( KHL ) dimana dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan upah yang telah ditentukan Gubernur tersebut hanya mengakomodir kebutuhan bagi mereka yang tidak mempunyai tanggungan anak atau keluarga tetapi sebagai standar hidup yang harus dipenuhi bagi seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik, non fisik maupun secara sosial selama satu bulan1).
Adapun kondisi pengupahan di daerah kabupaten Cirebon sendiri yang berkaitan dengan upah minimum kabupaten ( UMK ), pemerintah kabupaten Cirebon tahun 2008 menetapkan upah minimum diwilayahnya sebesar Rp 661.000,- berdasarkan survey angka kebutuhan hidup layak ( KHL ) bahwa masyarakat di daerah kabupaten Cirebon telah mencapai Rp 723.259,- jadi upah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten Cirebon tersebut masih jauh dari kebutuhan hidup yang layak2). Di Indonesia dimana tenaga kerja ( penawaran ) melimpah sementara kesempatan kerja ( permintaan ) sangat terbatas hal ini mengakibatkan posisi tawar pekerja menjadi rendah dan itulah sebabnya kenapa upah pekerja rendah disamping itu peningkatan upah pekerja mempunyai efek domino yang panjang. Ia akan meningkatkan daya beli, dan pada giliranya meningkatkan konsumsi, peningkatan konsumsi membutuhkan peningkatan kapasitas produksi barang konsumsi dan barang modal, peningkatan kapasitas produksi membutuhkan investasi baru dan penambahan tenaga kerja, penambahan tenaga kerja berarti bertambahnya jumlah orang yang berpenghasilan dan akan meningkatkan konsumsi serta membutuhkan peningkatan kapasitas produksi demikian seterusnya berulang bagai bola salju dan paradigma upah murah telah menghambat menggelindingya bola salju perekonomian tersebut. Bagi pengusaha penganut upah murah umumnya beralasan bahwa industri mereka padat karya dan akan sangat rentan terhadap dampak kenaikan upah pekerja, seberapa kecilpun kenaikan upah bila dikalikan dengan jumlah pekerja yang ribuan akan berdampak pada terkurasnya laba perusahaan, bahkan bisa merugi3).
Ditengah krisis keuangan global yang melanda dunia imbasnya terasa membawa dampak pada perekonomian di Indonesia dimana para pengusaha mempunyai wacana akan merumahkan pekerjanya demi kelangsungan hidup perusahaan, maka untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat berani demi kelangsungan hidup para pengusaha dan pekerja yaitu dengan diterbitkanya Surat Keputusan Bersama ( SKB ) 4 menteri yang ditandatangani oleh para menteri yaitu Menteri tenaga kerja dan transmigrasi ,Menteri perindustrian, Menteri perdagangan dan Menteri dalam negeri. Dimana isi salah satu point pasalnya dalam Surat Keputusan Bersama ini pemerintah tidak lagi ikut campur dalam menetapkan besaran upah melainkan menyerahkan masalah ini untuk dinegoisasikan antara management dengan serikat pekerja / buruh sesuai dengan kemampuan perusahaan, dimana yang sebenarnya SKB 4 menteri itu berisi tentang “ pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi pekembangan perekonomian global “. Rencana penerbitan Surat Keputusan Bersama itu langsung mendapat tanggapan dari pihak pengusaha yang berdalih tentang krisis keuangan global yang sedang melanda, pengusaha mengaku apabila upah dinaikan maka akan berimbas pada terjadinya putusan hubungan kerja ( PHK ) dalam hal ini industri yang paling berat menaikan upah minimum adalah industri padat karya dan industri rumah tangga.
Adanya krisis perekonomian global banyak para pengusaha mempunyai wacana akan merumahkan karyawanya dan pemutusan hubungan kerja ( PHK ), hal ini akan menjadi ancaman bagi pekerja / buruh sebagai dampak dari turunya permintaan komoditas eksport dan import, fenomena sosial ekonomi yang sedang berlangsung saat ini yang menyebabkan pemerintah merumuskan berbagai kebijakan emergency yang bersifat lebih pragmatis untuk menstabilkan dunia usaha dengan mengeluarkan SKB 4 menteri guna mensikapi akses krisis keuangan global dalam hal ini sifat arif dari pemerintah sedang diuji kapasitasnya sebagai penjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyatnya serta apa yang dilakukan oleh pemerintah tersebut akan menjadi landasan perilaku pengusaha dan juga bagi kalangan buruh untuk saling menjaga kepentingan ekonominya masing masing. Tetapi hal itu menimbulkan rasa pesimistis dari kalangan pengusaha dan pekerja atas terbitnya SKB 4 menteri dengan ditandai adanya daerah daerah yang tidak merespons dengan baik apa yang sudah menjadi putusan kebijaksanaan pemerintah serta masih banyaknya demo demo dari kalangan pekerja / buruh yang menginginkan kebijakan pemerintah tersebut agar direvisi kalau perlu dicabut.
Jawa Tengah adalah salah satu daerah yang mengabaikan adanya SKB 4 menteri dimana Gubernurnya tidak memberlakukan apa yang menjadi kebijakan pemerintah tersebut dikarenakan setelah Gubernur mendapat masukan dari unsur gabungan stakeholder industri yaitu Serikat pekerja, Apido, Dewan pengupahan, BPS dan perguruan tinggi maka Gubernur memutuskan untuk lebih berfihak kepada pekerja / buruh yaitu melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan didalam Undang undang ketengakerjaan yang berkaitan dengan upah minimum karena SKB 4 menteri dinilai cacat hukum sebab melanggar UUD 1945 dan Undang undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keputusan Gubernur tersebut disambut baik oleh para pekerja karena Gubernur tidak mengindahkan SKB 4 menteri dengan mengeluarkan SK Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 561.4/52/2008 yang pada intinya UMK tahun 2009 naik rata rata 12,9 persen4).
Terbitnya SKB 4 menteri adalah langkah antisipasi awal yang berfungsi sebagai jaring pengaman terhadap kelangsungan usaha dan kelangsungan bekerja agar tidak terjadi PHK massal, dan SKB 4 menteri bukan berarti melarang terjadinya kenaikan UMR sesuai dengan kemampuan perusahaan akan tetapi dalam penentuan UMR tetap berdasarkan Undang undang ketenagakerjaan dengan mekanisme melalui rekomendasi dewan pengupahan daerah masing masing kepada pemerintah kabupaten /kota selanjutnya pemerintah kabupaten / kota merekomendasikan kepada Gubernur mengingat berdasarkan ketentuan Undang undang ketenagakerjaan adalah kewenangan Gubernur. Menteri tenaga kerja dan transmigrasi menambahkan bahwa kekhawatiran akan SKB 4 menteri ini akan membatasi kenaikan upah buruh tidak terbukti, hal itu dapat dilihat di 11 propinsi dimana kenaikan upah minimum 2009 lebih dari 10 persen beberapa daerah tersebut diantaranya DKI Jakarta yang naik 10 persen, Jawa Barat 10,56 persen, Sulawesi selatan mencapai 22,21 persen untuk kabupaten Cirebon sendiri kenaikan upah tahun 2009 mencapai 12,85 persen ( 85.000,- )dimana UMK ditentukan sebesar Rp 746.000,-
Polemik di daerah lain seputar penetapan upah minimum kabupaten / kota ( UMK ) adalah daerah Jawa Timur diharapkan tahun 2009 dipaksa sudah tuntas. Gubernur akhirnya menyetujui seluruh usul UMK dari seluruh kabupaten/kota dengan demikian besaran UMK tersebut harus sudah diterapkan per tahun 2009. Hal tersebut membuat pengusaha yang masih kesulitan menggaji sesuai dengan UMK tahun 2009 diijinkan memberlakukan besaran gaji seperti tahun sebelumnya namun harus melalui audit keuangan oleh pemerintah provinsi jika memang kondisi keuangan perusahaan tidak kuat. Keputusan Walikota Surabaya yang telah menetapkan UMK tahun 2009 sebesar Rp 948.500 atau naik 17 persen dari UMK tahun 2008 yang Rp 805.500, Bila dikaitkan dengan keluarnya SKB 4 menteri itu maka keputusan Walikota tersebut telah mengabaikan kebijakan pemerintah tentang pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan krisis ekonomi global5).
Permasalahan permasalahan lain yang timbul akibat ketidakpuasan tentang terbitnya SKB 4 menteri adalah maraknya demo demo yang dilakukan oleh para pekerja / buruh di daerah daerah seluruh Indonesia. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ( SPSI ) Kabupaten Bandung menyatakan menolak keras SKB 4 menteri yang berisi kesepakatan untuk tidak memberlakukan satu standarisasi upah minimum di satu wilayah tertentu, SKB itu sangat membingungkan disatu sisi UU Ketenagakerjaan sudah mengatur mengenai upah minimum, disisi lain pemerintah memberikan patokan mengenai upah melalui kebijakan SKB 4 menteri6).
Begitu juga di daerah Kabupaten Cirebon dimana puluhan mahasiswa dan buruh yang tergabung dalam gerakan mahasiswa penyelamat reformasi serta solidaritas buruh Cirebon, melakukan aksi unjuk rasa menolak SKB 4 menteri tentang pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global, bahwa SKB 4 menteri itu tidak berfihak kepada buruh, hanya menguntungkan pengusaha dan meminta Pemerintah provinsi Jawa Barat dan Pemerintah kabupaten Cirebon mengabaikan SKB itu dalam menentukan besaran UMK Kabupaten / kota di Jawa Barat tahun 20097), karena menimbulkan banyak kontroversi akhirnya SKB 4 menteri oleh pemerintah direvisi menjadi ”Gubernur dalam menetapkan upah minimum diupayakan memperhatikan tingkat inflasi di masing masing daerah” dan ketentuan ini berlaku semenjak diumumkan pemerintah pada tanggal 27 November 2008 ,dimana tingkat inflasi bulan Januari sampai Oktober 2008 mencapai 10.96 persen8). Sebanarnya revisi yang dilakukan pemerintah terhadap ” pasal 3 ” yang menjadi kontroversi pemahaman dan persepsi sudah dikatakan terlambat karena dilakukan setelah sebagian besar pemerintah daerah dan dewan pengupahan sudah menetapkan kenaikan upah tahun 2009 untuk wilayah masing masing dimana 90 persen usulan kenaikan upah didaerah sudah diteken.

Implementasi perlindungan hukum terhadap desain mebel

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan kemampuan daya saing. Salah satu daya saing tersebut adalah dengan memanfaatkan Desain Industri yang merupakan bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual ( HaKI ). Keanekaragaman budaya yang dipadukan dengan upaya untuk ikut serta dalam era perdagangan bebas dengan memberikan perlindungan hukum terhadap Desain Industri akan mempercepat pembangunan industri nasional yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2000.
Seperti kita ketahui bahwa seiring dengan perkembangan jaman serta teknologi, telah membawa perubahan terhadap pola kehidupan manusia. Di negara yang berkembang dimana lebih dari 200 juta penduduknya serta mempunyai potensi Sumber Daya Alamnya ( SDA ) yang sangat melimpah merupakan asset yang besar bagi perkembangan suatu industri. Dengan daya dukung tersebut memungkinkan berkembangnya industri-industri yang ada di negara tersebut baik industri yang berskala besar ataupun industri yang berskala kecil dan menengah.
Dalam perkembangan industri di Indonesia terutama industri kecil, keberadaannya perlindungan hukum terhadap Desain Industri sangatlah diperlukan dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat serta diharapkan dapat menunjang perekonomian bangsa. Berkat kemajuan di bidang teknologi serta sarana dan prasarana yang mendukung ide, gagasan, desain atau inovasi-inovasi yang digunakan dalam kegiatan industri banyak sekali penemuan-penemuan atau buah pikir manusia tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan dengan tujuan komersial.
Dalam rangka menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri ataupun kerajinan tangan, tentunya suatu industri memerlukan suatu pola desain, agar produk atau barang yang dihasilkan tersebut memiliki fungsi serta nilai lebih terhadap suatu produk atau barang itu sendiri. Ketentuan tersebut sesuai dengan pengertian daripada Desain Industri, seperti dalam rumusan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dirumuskan sebagai berikut :
“ Suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna atau garis dan warna atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang atau komiditas industri atau kerajinan tangan ”
Dalam penciptaan suatu desain, tentunya hal ini perlu mendapat perlindungan atau pengaturan perlindungan hukum terhadap Desain Industri, dalam rangka melindungi penemuan desain itu sendiri dari kegiatan yang dapat merugikan.
Mengingat hal-hal tersebut dan berhubung belum diaturnya Peraturan Pemerintah ( PP ) tentang perlindungan hukum terhadap Desain Industri, oleh karena itu pemerintah perlu membuat Peraturan Pemerintah di daerahnya dalam bidang Desain Industri untuk menjamin hak-hak pendesain, menetapkan hak dan kewajibannya serta menjaga agar pihak yang tidak berhak tidak dapat menyalahgunakan hak Desain Industri tersebut.
Selain mewujudkan komitmen terhadap TRIPs, pengaturan Desain Industri diberikan untuk memberikan landasan bagi perlindungan yang efektif terhadap segala bentuk penjiplakan, pembajakan atau peniruan atas Desain Industri yang telah dikenal cukup luas. Adapun prinsip pengaturannya adalah pengakuan atas kepemilikan karya intelektual yang memberikan kesan estetis dan dapat diproduksi secara berulang-ulang serta dapat menghasilkan suatu barang dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap hak Desain Industri dimaksudkan untuk merangsang aktifitas kreatif dari pendesain untuk terus menerus menciptakan desain baru. Dalam rangka perwujudan iklim yang mendorong semangat terciptanya desain-desain baru dan sekaligus memberikan perlidungan hukum.
Sebagai salah satu bagian dari hak kekayaan intelektual (HaKI), desain industri juga mempunyai hak eksklusif sebagimana yang tertuang dalam UU No.31 tahun 2000 tentang desain industri. Dengan adanya hak eksklusif tersebut pemegang hak atas desain industri dapat mempertahankan haknya kepada siapa saja yang berupaya untuk menyalahgunakan hak tersebut dan pemegang hak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan hak tersebut untuk kepentingan pribadi atau perusahaan asalkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan dan kepentingan umum. Berdasarkan perundangan yang ada perlindungan desain industri ini didapatkan setelah adanya pendaftaran dari pendesain. Hal inilah yang kemudian menjadi permasalahan. Tidak sedikit pendesain yang belum mengerti mengenai arti penting sebuah pendaftaran sehingga yang terjadi adalah banyaknya kasus tentang peniruan desain industri tanpa ijin terlebih dahulu dari kalangan industri mebel yang berdampak akan merugikan pihak pendesain itu sendiri, meskipun pendesain belum mendaftarkan dan tetap berhak untuk mendapatkan perlindungan sebagai konsekuensi dari hasil kekayaan intelektual pendesain.
Cirebon merupakan sebuah wilayah di sebelah barat pulau Jawa yang terkenal sebagai derah industri kerajinan dan mebel rotan nasional. Meski hanya memasok 40 % dari total produksi kerajinan nasional dengan nilai eksport 13,5 juta dollar perbulan, Cirebon telah memberi kontribusi devisa yang cukup besar bagi negara. Dampak sosial dan ekonomi akibat intervensi pemerintah dalam berbagai program bantuan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Kondisi kemakmuran dan kesejahteraan usaha rotan di Cirebon merupakan daya tarik tersendiri bagi pendatang dari pilar daerah sehingga terbentuk bisnis usaha yang sangat khas yaitu astern sub kontrak komponen. Sistem ini menjadi pola kerja yang cukup effisien karena sifatnya yang tanggap dalam pengelolaan limpahan order dari perusahaan besar.
Lemahnya etika bisnis antar pengusaha berakibat persaingan yang kurang sehat sehingga menjadikan kendala tidak stabilnya plan coda ekonomi. Kurang berfungsinya organisasi pengusaha mebel nasional ( Asmindo ) secara optimal turut berperan sebagai pemicu dominasi pasar di antara para pengusaha dengan cara meniru desain.
Di Indonesia, kasus pelanggaran hak cipta dapat dilihat pada kasus sengketa antara PT Sri Rejeki Isman Tex ( Sritex ) dengan empat pengusaha kecil di Cirebon, yaitu Batik Sinar, Gunung Jati, H. Ibnu Hajar dan H. Masina yang memproduksi batik Golkar. Dalam kasus ini, batik Golkar yang diproduksi empat pengusaha tersebut disita dengan alasan menjiplak desain milik PT Sritek dan PT Sritek melakukan tuntutan berdasarkan pelanggaran hak cipta.
Pada saat kasus ini terjadi sebetulnya Indonesia belum mempunyai perangkat hukum di bidang desain industri sehingga kasus ini terkatung-katung dan pada saat itu tidak ada kejelasan, apakah kasus tersebut merupakan kasus pelanggaran hak cipta atau desain industri. Dengan diundangkannya UU Nomor 31 Tahun 2001 diharapkan dapat tercapai adanya suatu kepastian hukum dibidang desain industri sehingga penegakan hukum di bidang desain dapat terlaksana secara optimal sehingga diharapkan desain industri dapat menjadi sarana dalam menunjang pembangunan ekonomi Indonesia.
Dalam perkembangannya, sudah banyak pendesain Indonesia yang telah melakukan kegiatan ekspor, misalnya saja industri rotan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa para pendesain telah memasuki era perdagangan bebas dan memiliki konsekuensi perlunya pemahaman terhadap perlindungan desain dan ketentuan-ketentuan HaKI global seperti Persetujuan TRIPs-WTO, Konvensi Paris dan Konvensi Berne.
Pangsa pasar Internasional yang telah mereka masuki memberikan konsekuensi yang luas terhadap perlunya tindakan-tindakan nyata dari pemerintah dan mereka yang telah memilih komitmen kepada HaKI untuk memberikan sosialisasi yang memadai agar aset-aset nasional semacam ini terlindungi baik regional maupun global.

Lebih jauh, terdapat masalah yang dihadapi pendesain yang berkenaan dengan kegiatan pemasaran, terutama menyangkut masalah ketersediaan modal dan manajemen perusahaan1). Di samping itu, kesulitan lain yang dihadapi adalah akses terhadap informasi seperti halnya yang terkait dengan perlindungan HaKI. Idealnya pendesain melakukan penelusuran informasi HAKI dengan mendatangi Kantor HAKI di negara yang menjadi tujuan pasar, namun karena hal ini akan selalu terbentur dengan masalah biaya, penelusuran via internet merupakan suatu solusi yang lebih tepat.
Lebih jauh harus terdapat adanya kesadaran dari para pendesain untuk mengikuti informasi desain industri yang dikeluarkan oleh Dijten HaKI karena informasi ini sangat dibutuhkan bagi pendesain jika karyanya yang ditiru atau mungkin jika pada saat menerbitkan karya-karya baru ternyata telah ada karya pihak lain yang sama.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa sampai saat masih
banyak pendesain yang desainnya ditiru dan dipasarkan oleh rekan-rekannya sesama pendesain dan mengakibatkan kerugian baginya, namun tidak menuntut berdasarkan pertimbangan kebersamaan. Hal semacam ini sebenarnya dapat terus berlangsung dengan pendekatan dan pola yang aman jika diantara mereka dibuat suatu perjanjian lisensi satu sama lain jika satu karya desain digunakan secara bersama. Perjanjian ini dikenal dengan perjanjian lisensi yang memberi hak kepada penerima lisensi untuk menggunakan desain milik pendesain, tetapi menutup akses pihak lain yang tidak berhak untuk menggunakan desain tersebut. Langkah ini mempunyai konsekuensi bahwa desain dan perjanjian lisensi tersebut harus didaftarkan. Pendaftaran perjanjian lisensi perlu dilakukan agar perjanjian berlaku pula bagi pihak ketiga.
Ketidakmengertian dan ketidakpedulian masyarakat terhadap pentingnya perlindungan desain industri dan eksistensi UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri amat mengkhawatirkan. Hal ini sangat berbeda dengan di negara maju, sebagai contoh dapat dikemukakan pendaftaran paten dan desain produk untuk produk dari rotan yang terdaftar di USPTO ( United State Patent and Trade Mark Office ). Kenyataan ini sejalan dengan data yang diperoleh dari Dijten HAKI tentang minimnya pendaftaran desain industri dari kalangan UKM.
Dengan berlakunya UU No. 31 Tahun 2000, pendesain akan berada pada situasi yang menghadapkan mereka dengan pilihan yang beragam. Pilihan pertama adalah tidak mendaftar desain industri mereka, yang menyebabkan pendesain tidak akan pernah mendapatkan perlindungan hukum. Kedua adalah tidak mendaftarkan, tetapi mempublikasikan desain industri juga akan mempunyai resiko akan ditiru oleh pihak lain dan tetap tidak akan mendapat perlindungan hukum sehingga dengan demikian jika produk tersebut ditiru oleh pihak lain yang kemudian mendaftarkannya, pendesain yang asli secara hukum telah melanggar desainnya sendiri. Ketiga adalah mendaftar tetapi tidak memelihara, misalnya pendesain membuat produk di Makasar tetapi tidak mengetahui informasi mengenai desain industri yang terdaftar di Dijten HAKI, ada resiko telah didaftar oleh orang / pihak asing sehingga termasuk dalam kategori pelanggaran.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa perkembangan-perkembangan yang terjadi di bidang perlindungan desain industri dewasa ini tampaknya belum secara penuh diapresiasi oleh masayarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan belum adanya kesadaran melindungi hasil-hasil desain yang telah mereka buat bahkan bangga jika desainnya digunakan oleh sesama produsen yang lain. Contoh konkret dari kasus ini selain desain rotan Cirebon adalah masih banyak tidak didaftarkannya hasil-hasil desain keramik di Plered dan onyx serta desain-desain tanah liat di Kasongan.
Sikap kurang peduli terhadap perlindungan desain tampaknya dilandasi oleh pola berpikir masyarakat setempat yang cenderung mengutamakan kebersamaan dalam memanfaatkan penemuan / karya di bidang desain industri. Sikap masyarakat seperti ini sekilas nampak memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap kemajuan-kemajuan produk yang dihasilkan produsen nasional.
Era globalisasi yang telah merambah ke seluruh belahan dunia merupakan konsekuensi dari pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di awal abad ke 21 ini. Bagi bangsa Indonesia pengaruh globalisasi tersebut sudah mulai terasa pada berbagai aspek kehidupan manusia, khususnya pada aspek kehidupan ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya.
Dari aspek kehidupan ekonomi, salah satunya dengan telah terbukanya pasar bebas, telah membuat persaingan pasar di belahan dunia semakin ketat. Dengan pemanfaatan teknologi informatika khususnya internet, manusia dapat melakukan transaksi perdagangan tradisional. Dari aspek kehidupan politik, masalah demokratisasi, transparansi dan perlindungan Hak Asasi Manusia ( HAM ) kini telah menjadi isu global sebagai salah satu ciri negara yang sedang berupaya untuk menyetarakan diri dalam pergaulan internasional.

B. FOKUS STUDI DAN PERUMUSAN MASALAH

Menitik beratkan pada persoalan implementasi perlindungan hukum terhadap desain mebel melalui pendekatan hak atas kekayaan intelektual yang dikaitkan dengan era perdagangan bebas, berdasarkan pada fokus studi tersebut maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Mengapa Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri belum bisa memberikan perlindungan bagi para pendesain perusahaan-perusahaan mebel rotan dan kayu di kabupaten Cirebon ?
2. Bagaimana implementasi Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri pada perusahaan-perusahaan mebel rotan dan kayu di kabupaten Cirebon ?

Pengenalan Sofware Akuntansi Sederhana

PENGENALAN SOFTWARE AKUNTANSI SEDERHANA
Disusun Oleh:
Kapten Arh Dulkadir,SH.MH


1. PENDAHULUAN
Dunia saat ini telah dilanda globalisasi ekonomi yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan suatu bangsa, dari negara maju hingga negara yang sedang berkembang. Tanpa terasa dampak dari kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi (Komputer) dan komunikasi telah menyebabkan apa yang disebut sebagai dunia tanpa batas (borderless world), dimana jarak dan waktu semakin menjadi tidak berarti.
Pada kegiatan dunia usaha yang mengutamakan “Service Oriented”, pada hakikatnya sejalan dengan konsep masyarakat informasi. Kunci utama masyarakat informasi ini adalah kemampuan memanfaatkan Teknologi Informasi (TI) khususnya Komputer dan komunikasi. Banyak kegiatan pada dunia usaha yang sudah menggunakan TI sebagai pendukungnya. Contohnya kegiatan pasar modal, pasar komoditi, perbankan, Jasa keuangan dan dunia usaha lainnya.
TI sudah menjadi kebutuhan pokok bagi dunia usaha untuk mengelola semua jenis data yang ada. Pengelolaan data termasuk kegiatan Collection (pengumpulan data), Processing (proses), Storage (penyimpanan) dan Transmission of Information (pengiriman informasi/komunikasi), semua bentuk kegiatan inilah yang menjadi inti TI di dunia usaha saat ini. Sebagai contoh Bank harus mengumpulkan semua informasi mengenai nasabahnya dan menyimpannya sebagai bahan acuan untuk pengambilan keputusan. Berkat TI semua kegiatan ini menjadi lebih cepat, efefktif dan effisien. Berkat TI ini maka tingkat pelayanan Bank kepada nasabah bisa ditingkatkan dan kepuasan para pelanggan juga bisa meningkat. Sebagai contoh dengan adanya sistim jaringan komputer seorang nasabah Bank tidak perlu harus datang ke kantor Bank dimana uangnya disimpan, tetapi Ia bisa mengambilnya dicabang mana saja.